Senin, 15 September 2014

Tunggu aku esok lusa!

Dibalik indah yang mengemuka, ternyata masih saja ada tanya yang membelit maya. Tentang senyumnya yang masih samar membasuh kepolosan, tentang diamnya yang kerap menuipkan gerah praduga. Mungkin terlalu dini, untuk menyebut ini ‘keindahan’ yang mebahagiakan. ‘ keindahan’ yang masih serupa pelangi, mungkin itu lebih masuk nalar.

Lalu, kau hadir dengan pesona baru. Lugu sikapmu memasungkanku dalam debat rindu yang mengusik ketenanganku. Tiba – tiba aku mulai ber-‘harap’ lagi. Ada debar bahagia yang hadir. Saat syahdu sapa dan renyah tawamu membilas hariku yang gerah. Aku semakin tak jengah, menunggu tanda darinya menjelma nyata. Ahhh…!!


Kuakui dan tak kuingkari. Hadirmu telah meniupkan napas kegelisahan yang tak surut mendakwa rinduku berjalan lurus ke rumah hatimu. Membawa serta setiap inci keindahan yang terpendar diujung ruang pengharapanku. Semua sesederhana kata luruh apa adanya. Meski mata tak saling bertatap, kalam batinku setia merapal doa untukmu. Hati – hati ya.. Tunggu aku esok lusa!

Jumat, 05 September 2014

tumben... senja....

Aku melihat senjaku kembali pulang. Di sela aku melangkah kian menjauh. Senjaku kembali menorehkan senyum kebahagiaan yang tak kunjung usai. Aku tergeletak, lemas. Daya ini serasa tertelan oleh semunya jingga. Terlentang di bawah runtuhan daun yang menguning pucat. Pikiranku terpenjarakan waktu. Waktuku, waktumu, waktu kita. Diamlah dalam setiap detik ilusi yang tak kunjung usai. Iya memang semuanya tidak pernah selesai. Apa karena raganya masih beberapa kilometer saja ? Dan bersiap menjadi seorang bersenjata api :)

Namun, ternyata obat penenang lebih manjur daripada semua senjata yang ada di dunia. Karena semua yang terucap itu membuat detak jantung gundah. Semua yang sebelumnya hanya sebuah ekspektasi belaka menjadi teman telinga, dan bahkan terkadang telinganya menutup dengan sendirinya. Karna menakutkan. Sudahlah.. diam...